Harus diakui, saat ini wawancara televisi memang telah menjadi salah satu primadona siaran. Program ini membantu pemirsa untuk lebih memahami berbagai pendapat dan pandangan (opinions and views) orang tertentu atas sesuatu hal atau suatu peristiwa.
Pekerjaan membangun jembatan pemahaman yang jelas dan benar atas sesuatu hal atau peristiwa bagi masyarakat bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi jika hal itu dilakukan di tengah kecenderungan hadirnya beragam siaran yang sensasional, pornografi, dan penuh kekerasan di ruang tonton publik.
Tokoh pendidik nasional, Prof. Dr. Fuad Hassan, mensinyalir bahwa life style yang ditiru dari beragam program siaran televisi cenderung menjadi trend setting atau pattern setting. Menurutnya, kecenderungan ini dapat dilihat dari bagaimana ditiru dan massalnya dampak yang ditimbulkan oleh apa yang disajikan siaran televisi. Banyak contoh -yang kadang-kadang tidak masuk akal- dapat dikedepankan untuk itu. Di antaranya adalah -seperti yang diamati Prof. Dr. Fuad Hassan- nuansa rasis iklan produk pemutih wajah yang dalam enam minggu mampu memperputih wajah Anda. Iklan produk pemutih wajah ini seolah-olah menerangkan bahwa putih itu superior, coklat atau hitam itu inferior. Hebatnya, iklan seperti itu disiarkan tanpa ada keberatan di negeri yang sebagian besar penduduknya berkulit cokelat.
Sesungguhnya ada banyak masalah serius yang harus diperhatikan sehubungan dengan dampak negatif siaran dan iklan televisi. Bayangkan, setiap malam berbagai jenis sampo dikampanyekan lewat aksi anak muda menggoyangkan kepalanya untuk melepas ketombe, seolah-olah what is on your head is more important than what is in your head. Kenapa bukan otaknya yang direklamekan tetapi justru ketombe di kepala?
Khusus untuk Indonesia, kecenderungan di atas potensial merebak akibat relatif rendahnya pendidikan masyarakat, sehingga mereka lebih cenderung menikmati berita-berita atau siaran yang menjurus pada hal-hal yang sensasional, pornografi, dan penuh kekerasan.
Bersandar pada kenyataan tersebut, mungkin dapat diasumsikan bahwa tidak adanya prinsip-prinsip kemandirian dan netralitas dalam penyelenggaraan media massa memang akan sangat membahayakan kepentingan publik. Ketika ruang publik dipersempit dan aktivitas kebudayaan dilumpuhkan, maka wacana dan komunikasipun menjadi kian tersumbat. Ruang kritik dan penyampaian gagasan dengan ‘penuh kesadaran’ sengaja diperkecil, sebab pengelola media massa tanpa reserve telah menjadi abdi sekaligus alat kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi.
Di tengah kecenderungan itu, program wawancara televisi atau talk show semakin mengedepan arti pentingnya untuk mendorong perluasan ruang publik demi pencerdasan dan pencerahan masyarakat. Melalui penyiaran program-program wawancara yang bermutu, penonton diajak untuk berpikir kritis, mengkaji, dan mengetahui langsung aneka persoalan mutakhir dari tangan pertama.
Buku Panduan Wawancara Televisi yang ada di tangan Anda ini berbicara soal kaidah dan seluk-beluk wawancara televisi. Buku ini diharapkan dapat menjadi pedoman sekaligus mempermantap pewawancara menjalankan tugasnya, serta memberi bekal yang cukup bagi calon pewawancara dan pemula untuk mengembangkan diri sebagai interviewer yang andal.
Selamat membaca. Terima kasih.
Untuk pemesanan buku panduan wawancara televisi bisa menghubungi Agus Rusmawan di nomor 08128062233 (sms only), pin BB 21D81AFB, WhatsApp 085811157676 atau twitter : @rusmawan_agus
Technorati Tags: panduan wawancara televisi
No comments:
Post a Comment