Tuesday, February 8, 2011

Materi gambar 5D dan 7D untuk Program TV

Akhir-akhir ini, banyak film dan v-klip yang menggunakan kamera DSLR EOS 5D & 7D (yang teman-teman dan saya sering bilang "shooting kok pake tustel?") sebagai bahan baku. Dari segi produksi, saya melihat hal ini memang menguntungkan. Harga nya yang relatif murah dan gambar yang tidak kalah bagus bila dibandingkan dengan kamera video dan film 'beneran'.
slr 5dSekarang saya ingin tahu tanggapan teman-teman bila shooting program TV (feature, reality show, magazine) bila menggunakan kamera ini. Ini menjadi pertanyaan bagi saya setelah mebantu beberapa teman yang sedang menjalankan tugas kuliah di FFTV-IKJ. Beberapa kelompok menggunakan kamera ini sebagai materi visualnya untuk program TV non-drama. Yang saya rasakan setelah membantu pascaproduksi (audio-post) mereka ada kejanggalan, seperti:
-Kamera tersebut mempunyai spek yang minim untuk audio, jadi mau tidak mau mesti menggunakan sistem perekaman double system (perekaman gambar dan suara secara terpisah). Dimana pada saat transfer data & editing, editor harus mensinkronkan gambar dengan suara dan sebuah program TV harus bergerak cepat maka dari itu tidak menggunakan slate sebagai acuan untuk sinkronisasi. Jadi, saya hanya berkata sabar kepada editor
-Kebutuhan transfer data jika memory penuh.

TV Tips: Elemen Warna Visual

Dalam seni Visual, ada tiga elemen dasar yang paling penting untuk menciptakan sebuah karya visualisasi yang mengekplorasi imajinasi kreatif manusia. Ketiga elemen dasar visual tersebut adalah Color (warna), Shape (bentuk) dan Texture (tekstur). Ketiganya menyatu dalam kombinasi yang diciptakan oleh para Filmmaker dan TVmaker untuk dapat memberikan rasa keindahan bagi penikmatnya/penontonnya.
rgbNah, dalam industri televisi dan film, elemen Warna seringkali menjadi perdebatan karena warna sangat erat hubungannya dengan referensi, kombinasi dan percampuran. Nah, tips kali ini mencoba mengingatkan kita semua darimana warna dasar untuk Televisi berasal?
Warna putih sebagai Color Reference adalah percampuran antara warna Merah (30%), Hijau (59%) dan Biru (11%). Itulah mengapa "White Balance" dilakukan pada kamera dengan menggunakan objek berwarna putih. Ini terjadi karena sinyal warna putih akan selalu berubah tergantung dari kondisi pencahayaan dan suhu yang berbeda yaitu Day Light atau Tungsten.
Warna Percampuran lain adalah:
Yellow = Red + Green
Magenta= Red + Blue
Cyan = Green + Blue
Sedangkan "the word of RGB (Red, Green, Blue)" juga mempunyai arti.
Mengapa kita menyebutnya sebagai RGB? bukan GBR atau BRG? ini ada hubungannya dengan Human Skin Tones dimana warna kulit manusia didominasi oleh elemen warna Red (Merah), lalu Green (Hijau) dan terakhir Blue (Biru). Atau sering dikenal dengan rumus R>G>B. Itulah mengapa dalam teknik Chroma Key digunakan latar belakang warna biru atau hijau bukan merah.
Warna Hitam saat ini telah menjadi "the color of cool".

Tips Minggu Ini: Low Wide Angle Shot

Wide Shot! seringkali menjadi kata kunci bagi para Film Director, TV
Director dan DOP. Kenapa? karena Wide SHot mempunyai banyak arti dan sangat berguna untuk mengembangkan Kreativitas Gambar. Wide Shot juga dikenal dengan sebutan Wide Angle. Dengan focal lengths yang lebih pendek Wide Angle dapat menciptakan kedalaman gambar dengan lebih luas.
low angleSalah satu komposisi gambar yang populer di Amerika Serikat terutama untuk TV Features/documentary/drama/music video adalah "Low Wide Angle Shot". Angle ini dipakai untuk scene awal atau scene untuk menunjukkan kebesaran, kemewahan dan keluasan. Caranya? tidak sulit.
Carilah Blocking Camera yang mengarah pada objek yang besar atau tinggi. Lalu, letakkan kamera dengan lensa wide serendah-rendahnya.
Kalau perlu posisi sejajar dengan lantai dasar atau tanah tempat
berpijak. Kemudian, arahkan posisi kamera kepada objek yang
tinggi/besar/banyak. Bila anda menggunakan film look 16:9, tilt up
kamera sedikit dan zoom out sesuka anda. Perhatikan jarak kamera dengan objek lalu rubahlah posisi sesuka anda. Agar gambar lebih cantik, tambahkan Foreground dengan objek yang bergerak misalnya langkah kaki atau mainan mobil. Gambar anda akan terasa luas dan lebar. Maksimalkan fungsi zoom in/ zoom out

Televisi “Nasional”: Setahun dalam Catatan

Kita berdiri di ambang peralihan dari tahun 2010 yang segera ditinggalkan menuju 2011. Sepanjang satu tahun ke belakang, media televisi kita telah memberikan warna dan pengaruh dalam berbagai perlintasan peristiwa.

tv nasionalDengan penetrasinya yang sedemikian kuat, kita turut menjadi manusia-manusia Indonesia yang disibukkan, dibela, dikejutkan, diadili, diganggu, maupun diuntungkan dalam terciptanya warna dan pengaruh yang ada dalam siaran televisi tersebut. Namun, apakah warna dan pengaruh itu baik adanya—atau malah buruk adanya, itulah yang ingin disasar dalam catatan akhir tahun ini.

Catatan ini mewujud dari keinginan untuk menyuarakan kepentingan masyarakat akan kebutuhan tayangan televisi yang mendidik dan bermanfaat. Menyehatkan, sekaligus mencerdaskan. Beberapa hal yang tercatat di sini, tentu, tidak mungkin mengakomodasi semua perihal. Maka, selain menyadari bahwa banyak hal yang mungkin luput dicatat di sini, catatan ini pun membidik persoalannya hanya pada stasiun televisi “nasional”.

Remotivi sejauh ini telah melakukan observasi terbatas terhadap sejumlah tayangan televisi yang hasilnya terangkum dalam catatan-catatan berikut ini.
1. Klaim sejumlah stasiun televisi sebagai televisi nasional tidak diimbangi dengan perspektif keindonesiaan yang menghimpun kemajemukan. Ada begitu banyak stasiun televisi yang menyebut dirinya nasional namun gagal memberi ruang aksentuasi bagi lokalitas dan partikularitas. Nyaris semua tayangan yang muncul, dengan congkak, sekadar menghadirkan hiruk pikuk persoalan Jakarta seraya menihilkan suara-suara lain yang datang dari berbagai tempat di Indonesia. Indonesia direduksi menjadi sekadar Jakarta yang pada ujungnya berakhir dengan terbentangnya jarak antara apa yang ditayangkan dengan kenyataan sehari-hari yang dihadapi, justru, oleh sebagian besar masyarakat.
Pada sinetron-sinetron yang membanjiri layar kaca, misalnya, masyarakat Indonesia yang terdiri dari keberbagaian ini justru disempitkan dan dimiskinkan maknanya menjadi sebongkah tatanan nilai yang seragam, monolit, dan terpusat.
Masyarakat di pesisir Enggano mesti tahan dicekoki dengan tema-tema sinetron yang tidak ada relevansinya dengan kenyataan hidup mereka sehari-hari. Atau masyarakat di Sidoarjo yang dicekoki dengan citra bling-bling dan kemewahan warga Jakarta melalui sinetron, di tengah ketidaktahuan kapan mereka akan mendapatkan kembali hak atas rumah setelah ditelan oleh lumpur yang ganas.
Kejakartasentrisan ini pun ditemukan sangat mencolok pada tayangan-tayangan bercorak perjalanan yang memotret wajah lain dari Indonesia.
Segala sesuatu dipandang lain dan aneh, karena kacamata Jakartalah yang dipakai.
Dan karena kejakartaan, setiap “tamu” yang hadir harus bertingkah menjadi juru selamat dan ratu adil bagi warga yang dianggap “kampung”. Maka, tak heran fenomena seperti ini menjadi marak: meliyankan yang kita, dan mengkitakan yang liyan. Ada situasi anomik, sejenis keterasingan yang berangsur-angsur tumbuh
antara apa yang masyarakat saksikan dengan kenyataan yang mesti ditempuh sepanjang hari.
Selain Jika Aku Menjadi, Tukar Nasib dan berbagai tayangan sinetron yang terserak nyaris di semua stasiun televisi, hal paling ekstrem dari paradigma ini, terwujud dalam tayangan Primitive Runaway yang bernada melecehkan dan berbau rasis terhadap suatu kelompok masyarakat.
2. Dalam banyak kesempatan, tayangan berita nyaris selalu kehilangan independensi dan netralitasnya. Apa yang disebut sebagai media massa tidak merepresentasikan sikap dan kebutuhan khalayak lantaran kerapnya campur tangan pemilik modal dalam isi pemberitaan. Karut marut ini semakin menjadi bila pemberitaan mengangkat konflik politik dan tema seputar anak perusahaan lain yang dimiliki para pemilik modal stasiun televisi yang bersangkutan. Layar televisi dijadikan gelanggang pertikaian antarkekuatan politik besar yang, nahasnya, mendaulat pemirsa sebagai korban. Kompetisi beranjak menjadi sejenis pertarungan opini yang tak lagi jelas apa relevansinya bagi kepentingan publik.
Gaya pewartaan TV One dan Metro TV adalah dua di antara contoh-contoh lain yang dapat diungkapkan.
3. Ketidakmampuan membedakan arena “privat” dan “publik” adalah perkara lain yang patut dicatat. Gagapnya stasiun televisi dalam membedakan kedua ranah ini, kerap melahirkan produk-produk tayangan yang sekadar mengandalkan sensasi, bukan substansi. Dramatisasi, bukan edukasi. Wilayah paling pribadi dari seorang individu dirampas atas nama kebebasan pers, keterbukaan berbagi informasi, dan hiburan. Apakah kebanalan semacam itu melanggar kepatutan dan hak yang dimiliki manusia sebagai warga negara—tidak sekalipun menjadi pertimbangan. Yang jelas, media televisi sekonyong-konyong beranjak menjadi polisi moral yang menentukan soal baik dan buruk sebuah perilaku sambil membongkar perihal-perihal yang tak ada urusannya dengan kemaslahatan publik. Infotainmen, Termehek-mehek, dan Uya Emang Kuya adalah contoh dari seunggun tayangan sejenis lainnya yang kami pandang ikut bertanggung jawab merusak keadaban publik.
4. Perbincangan tentang paras masa depan Indonesia adalah perbincangan tentang bagaimana anak-anak belajar dan mendulang pengalaman mereka di hari ini.